Friday, March 9, 2012

Loner Had Her Time II

Hari demi hari saya habiskan di Koszalin, Polandia dengan temperatur dingin disetiap detiknya. Kadang -10 derajat Celcius, atau bahkan mencapai -21 derajat Celcius. Baru dua hari tinggal disana, saya langsung kena demam. Ketebak sih, karena imunitas yang kurang baik, bisa dibilang juga belum sanggup adaptasi dengan cuacanya yang ekstrim. Tidak sedikit juga teman yang memberitau saya bahwa cuaca ekstrim menyebabkan kurang lebih 100 penduduk Polandia mati kedinginan. Kalau memang begitu, artinya saya datang kesini untuk mengejar maut.

Perbedaan cuaca yang drastis, perbedaan bahasa dan kultur menyebabkan serba nanggung dan canggung. Atau kadang yang sudah direncanakan malah buyar seketika mengetahui temperatur yang tidak bersahabat. Tetapi, semakin hari tubuh saya semakin membaik dan mampu beradaptasi dengan kejamnya rezim cuaca di Eropa.

Banyak hal yang ingin dibicarakan kepada keluarga Gall, karena kemampuan bahasa saya yang serampangan, maka bicarapun terbata-bata. Entah mereka menyebut saya pendiam, judes, atau bodoh, who knows? Haha, padahal kalau berbicara dengan bahasa Ibu, saya bisa bicara 1 jam gak berhenti-berhenti.

Sudah jelas perbedaan kultur yang bertolak belakang. Dimana saya biasa memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan sendiri; “ibu”, “Kakak”, “mas”, “bapak”, dll. Tapi disana, semua umur dianggap sama. Saking bingungnya, saya panggil Ibunya Gall dengan sebutan “Madam”, konyol pasti, tapi itulah kultur yang biasa saya lakukan di Negara saya. “Panggil saja Goscha dan Jupi” kata kakakku menyebutkan nama panggilan untuk kedua orangtua Gall. Hm, tiba-tiba terbayang apa yang akan terjadi jika saya memanggil nama kedua orangtua saya tanpa embel-embel penghormatan. “Sri, aku berangkat dulu yah!” atau “Pas (Paskah), aku pulang telat kayaknya hari ini, harus ngeprint tugas dulu” agak-agak gimana gitu yah… (ga sanggup jelasinnya).

Selera makan juga menurun drastis disana. Berasa gak jelas apa yang dimakan, semua serba plain. Intinya, gak ada makanan yang bisa saya nikmatin disana kecuali TELOR DADAR PAKE ABON SAMA KECAP ABC yang saya bawa dari Indo pesanan kakak saya. Duh! Glorious Feeling banget!! Berasa nemuin harta karun. Hal ini adalah salah satu alasan kenapa saya homesick.

Budaya cebok yang aneh setelah buang air juga membuat saya kelu. Memang harusnya, saya ditraining dulu sebelum pergi ke Eropa. Basic Life Survival. Bagaimana cebok yang baik dan benar menggunakan tisu toilet. Sugestinya yang bikin gak nahan, berasa gatel pantat. Sehingga selama 8hari tinggal disana, saya hanya 2x melakukan ritual sakral.

Seminggu saya habiskan di Koszalin, Polandia bersama kakak, Gall dan Kirana. Waktunya untuk berpindah tempat dan menjelajahi apa yang harus dijelajahi, Amsterdam. Naik bis dari Koszalin menuju Amsterdam bersama tante saya (Jeje) membuang waktu sekitar 16 jam kurang lebih. Rencananya, sesampainya di Amstelstation saya akan dijemput oleh teman ayah saya, karena saya sudah janji untuk tinggal di rumahnya selama saya disana. Namun, detik demi detik.. menit demi menit berlalu.. gak punya telfon, dan telfon umum di sana rata-rata udah gak berfungsi dengan baik. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut Jeje ke flat adiknya di Enschede-kota lain-naik kereta.

Kali pertamanya saya naik kereta sebagus ini seumur hidup. Semuanya rapi, tertib dan disiplin. Berkhayal kalau di Indonesia ada kereta kaya gini, saya yakin udah gak butuh mobil lagi buat pergi ke kampus. Tapi katanya gak fair untuk membandingkan Negara kita dengan Negara lain yang lebih maju. Oke, jadi khayalan itupun buyar seketika. Biarkan saya menikmati ketertiban ini hanya di Negara lain yang bukan Indonesia.

Sampai di Enschede, jalan dari station ke flat adik Jeje yang lumanyun jauh, hehe. Karena memang semua orang harus terbiasa berjalan kaki disini. Juga memang memadai untuk berjalan kaki. Mereka memang menghargai pedestrian, sesaat kami mau menyebrang mobil yang akan lewat sudah berhenti 7 meter sebelum kami, tapi tentu dengan syarat “menyebranglah di tempat yang seharusnya. Zebra cross”. Trotoar yang dibikin nyaman dengan gak adanya PKL dan sampah bertebaran bikin jalan kaki adalah hobi baru di Eropa.

Negara maju memang sangat menghargai manusia, SDM pun dibayar sangat mahal. Sehingga manusia memang diagung-agungkan. Dibuat system dimana manusia dapat berjalan kaki dengan nyaman, nyebrang dengan selamat dan sampai rumah dengan aman. Menurut saya itu adalah hal-hal basic yang mereka persembahkan kepada warganya sebagai manusia terhormat. Negara saya –yang-tak-ingin-saya-sebutkan-namanya- entah masih menghargai manusia apa tidak. Hal-hal basic pun tak mampu dipegang. Bagaimana mengatur public transportation, trotoar yang dipenuhi oleh PKL dan sampah yang menggunung sehingga para pedestrian gatau mau jalan dimana. Atau alter ego para pengemudi kendaraan bermotor yang lebih mendahulukan keadan dirinya yang seolah-olah terburu-buru atau memang tidak sabaran daripada mempersilahkan pedestrian untuk menyebrang terlebih dahulu. Sehingga, memang tidak sedikit yang meregangkan nyawa di jalanan karena saling bersilangan, hal biasa kok di Negara kami, jadi gak perlu dibawa tegang, lagipula gak fair membandingkan dengan dengara maju yang lain. Ya, tapi mau sampai kapan? Sampai semua warga Negara mati ditengah jalan?

Memang system sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Tinggal ditempat yang memiliki system yang disiplin maka sikap para masyarakatnyapun menjadi disiplin. Karena semua dapat berubah, manusia dapat beradaptasi kok, saya yakin. Memang harus dipaksa untuk banyak masyarakat yang kurang pendidikan seperti di Negara saya. Dipaksa berhenti pada saat lampu merah. Dipaksa berjalan pada saat lampu hijau. Dipaksa berhati-hati yakni lebih baik berhenti daripada jalan pada saat lampu kuning. Dipaksa berjalan kaki atau naik sepeda daripada naik motor atau naik mobil. Angkutan umum dipaksa untuk memberikan kenyamanan pada penumpangnya. Pedestrian dipaksa untuk berjalan di trotoar dan nyebrang di zebra cross. Lalu lintas dipaksa untuk lebih rapih. Untuk mendisiplinkan, dan membentuk sikap disiplin, juga pola pikir manusia di Negara ini untuk lebih terarah dan terorganisir. Ya, begitulah sepertinya lika liku di negeri ini, kanan salah kiri salah.

Karena tujuan awal adalah Amsterdam, setelah istirahat beberapa jam di Enschede, saya balik lagi ke Amsterdam naik kereta, sendirian. Naik kereta pertama kali sendirian di Negara orang tentu bukan hal mudah, secara psikologis. Banyak yang ditakutkan, intinya takut nyasar dan salah naik kereta, karena keretanya ga lurus-lurus aja, mesti ganti kereta dulu di kota tertentu.

Amsterdam, kota yang klasik, menarik dan artistic. Sepeda udah bukan lagi jadi hal mainstream karena semua orang pakai dan sudah menjadi kebutuhan. Bahkan dibuat jalur sepeda di jalan raya. Kanal-kanal dengan sungai yang membeku karena temperatur dibawah nol, dipakai untuk bermain ice skating oleh warga sekitar. Pokoknya, Amsterdam memainkan perasaan saya.

Tidak berlama-lama di Amsterdam, karena saya harus kembali ke Berlin untuk bertemu Aisha, sahabat saya. Naik Eurolines Amsterdam-Berlin menghabiskan 13 jam kurang lebih, sebenarnya saya yakin tidak akan selama itu kalau saja bis nya gak berhenti lama di suatu tempat entah apa itu namanya. Tengah malam buta, pada saat memasuki perbatasan Jerman, bis kami diberhentikan oleh polisi. Katanya pengecekan paspor. Padahal banyak yang bilang kalau pengecekan paspor di perbatasan Negara itu sudah lama tidak dilakukan lagi. Mungkin memang lagi apes aja, atau pengecekan paspor itu dilakukan secara random. Jadi kadang ada kadang ga ada, seperti bulu di tubuh, ado, nda ado, ado lagi, nda ado lagi, dst. Persis sepasang kekasih duduk didepan saya. Dan berciuman tepat didepan saya, sedangkan saya duduk sendiri.

Penuh haru dan canda, bertemu dengan sahabat yang kurang lebih sudah 2 tahun ga ketemu. Aisha, adalah teman pertama saya waktu SMA. Kelas 2 dan kelas 3 kami habiskan waktu bersama di kelas, di tempat les, di rumah saya, di kosannya dan di mana-mana. Keputusannya untuk melanjutkan sekolah di Jerman membuat saya tercengang. Tapi begitulah hidupnya, dari ngekos lanjut ke ngekos, ya gak? Hihi.

3 hari bersama Aisha di Negara orang adalah pengalaman berharga buat saya. Betapa sulitnya survive tanpa ada keluarga. Cari uang kerja di pabrik Koran buat nambahin jajan. Saya tanya “ko jauh-jauh ke Jerman ujung-ujungnya jadi buruh?” katanya “kalau gak gitu gak bisa jajan, Bel. Pasti maunya ngirit mulu.” Aisha adalah contoh manusia yang bisa beradaptasi, walaupun terpaksa. Dia beradaptasi dengan kerasnya Euro, maka bekerja. Katanya “awal-awal emang selalu bandingin sama Rupiah kalau mau beli apapun, tapi kata Sayid kalau gitu terus kapan bisa nikmatinnya?” Untungnya Aisha punya pacar dan teman-teman yang baik disana. Saya jadi gak begitu susah buat ninggalin pulang dia disana.

Lahir dan kembali, datang dan pergi memang selalu menjadi sesuatu yang structural, keharusan. Tanggal 14 Februari, tepat hari valentine dimana semua orang menganggapnya sebagai hari kasih sayang, lalu saya meninggalkan orang yang saya sayangi di Negara orang. Kembali ke Negara sendiri, melegakan karena akhirnya kembali ke zona nyaman dimana bisa ngomong ceplas ceplos tanpa perlu khawatir ada orang yang gak ngerti apa yang saya omongin.

Banyak belajar selama melakukan perjalanan sendiri di Eropa. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang penting sampai yang gak penting. Intinya, saya telah melakukan sedikit orientasi untuk hidup saya kedepan. Apa yang harus saya lakukan, apa yang saya butuhkan, apa yang akan menjadi patokan. Kemana saya akan tinggal dan pergi setelah ini.

Jadi, Eropa tunggu saya di kehidupan yang akan datang..

Loner Had Her Time I

Sebagai mahasiswa berdedikasi tinggi, liburan akhir semester 5 yang hanya 1 minggu itu saya habiskan lebih dari 1 minggu, mengunjungi kakak saya, suaminya dan anaknya yang notabene adalah keponakan saya. Seperti prinsip ekonomi; dgn modal seminim mungkin menghasilkan untung semaksimal mungkin, liburan ini pun saya isi dengan prinsip mahasiswa-kenyang-tugas-haus-liburan; dgn waktu sesingkat mungkin liburan sejauh mungkin.

Kebetulan, kakak saya menikah dengan seorang Polish dan tinggal sementara disana pasca melahirkan ini. Maka saya mengunjungi kakak saya di Polandia yang nun jauh disana, sendiri.

Pergi jauh sendiri tidak begitu menakutkan bagi saya, justru saya menikmatinya. Oiya, ini adalah trip pertama saya dalam umur 20 tahun lintas benua dan sendirian. Jadi seberapa menakutkannya pergi sendirian, tertutup oleh kebahagiaan saya bagaimanapun juga. Dengan menggunakan pesawat punya Negara Qatar (karena costnya paling murah), satu-satunya resiko yang harus saya terima adalah satu pesawat dengan para TKI dari berbagai macam daerah. Beruntungnya saya, karena pada saat berangkat TKI nya tidak begitu banyak-hanya beberapa, mungkin karena jadwal keberangkatan yang terlalu dini, Pukul 00.30 WIB. Saya duduk bersebelahan dengan orang Indonesia, bapak-bapak, alhamdulillah gak macem2.

Transit di Doha selama kurang lebih 4 jam gak begitu terasa, karena yang saya lakukan sewaktu turun dari pesawat adalah mencari gate, dan untungnya saya menemukan colokan listrik untuk men-charge hp sambil internetan-kirim kabar sana-sini hanya untuk memastikan bahwa saya transit dengan selamat di Doha.

Destinasi berikutnya adalah Berlin, Jerman. Dimana pesawat saya landing dengan selamat. Saat itu, Berlin sedang hangat-pancaran sinar Matahari yang menembus kaca jendela bandara-membuat saya berpikir “apa bakal sedingin yang dibayangkan?” karena isunya pada saat saya datang kesana akan menjadi udara yang paling dingin, berhubung pemanasan global dan iklim yang ekstrim. Ternyata, pancaran sinar Matahari yang hangat tidak dapat merepresentasikan pribadi orang-orang barat yang dingin dan kaku…

Bermodal Longjohn, sweater turtleneck, jaket pacar yang lumayan tebal, celana jeans yang lumayan ketat, syal tebal, coat warisan kakak dan sepatu boots khusus salju, saya memberanikan diri keluar bandara untuk mencari sesuatu yang bisa saya lakukan. Gall-suami kakak saya-telah memesankan saya tiket travel untuk ke Koszalin, Polandia. Sehingga saya harus mencari dimana travel itu akan berhenti. Setelah melakukan orientasi tempat, saya harus memberitahu kakak saya bahwa saya telah sampai di Tegel, Berlin. Unfortunately, I had no credit in my cellphone L Lalu saya berinisiatif untuk memakai telfon umum. Satu yang dibutuhkan:koin. Banyak toko yang bisa dikunjungi, dan entah kenapa barang pertama yang saya beli untuk mendapatkan kembalian koin adalah, HARIBO rasa kola.